Suhu sosial-politik di tanah Palestina kembali memanas. Sumbu pemantiknya berasal dari ‘ulah’ seorang Donald John Trump, pemimpin ke-45 negara berjuluk Paman Sam. Keputusan Presiden Amerika Serikat untuk memindahkan Kedutaan Besar negara adikuasa dari Tel Aviv ke Yerusalem memicu ketegangan, yang dalam beberapa waktu sebelumnya, konflik Israel-Palestina sedikit meredam. Kehadiran Arab Spring yang menyapa beberapa negara di kawasan Timur Tengah juga mampu melupakan sejenak konflik yang belum benar-benar berakhir di bumi bernilai historis tinggi bagi pemeluk agama-agama samawi; Yahudi, Nasrani, dan Islam. Lebih dari itu, Yerusalem yang ditetapkan menjadi kawasan ber”status quo” di bawah pengawasan PBB, diakui sepihak oleh Trump menjadi ibukota Israel (6/12/2017). Tentu saja pernyataan tersebut sama dengan menabuh genderang perang dan seakan menandai konflik kawasan tersebut akan berlanjut ke babak-babak baru. Pastinya, Trump tahu resiko yang akan dihadapi dari ‘permainan’ politik luar negerinya. Ia pun seakan meneguhkan komitmen dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya setahun yang lalu (2016). Sebuah keputusan kontroversial yang sekaligus bukti pemenuhan janjinya kepada kalangan pro-Israel (Yahudi) dan kelompok fundamentalis seperti Evangelis Kristen di Amerika yang menjadi lumbung suara bagi kemenangannya di pilpres Amerika pada tahun 2016. Simpelnya, ia seakan berucap, “Pernyataanku sesuai dengan janji kampanye, maka tidak ada yang salah dengan keputusan ini”. Well.

Yerusalem atau disebut Yerushalayim (bahasa Ibrani) dan Al-Quds (bahasa Arab) berarti “kesucian” seolah-olah hanyalah nama tak bermakna. Karena realitas di lapangan, jauh dari harapan nama indah tersebut. Tanah itu telah ternodai dengan air mata dan darah-darah manusia. Pertikaian dan perselisihan di atas “tanah yang dijanjikan oleh Tuhan” bagi kaum Yahudi itu seakan tak bertepi. Tanah itu tidak suci lagi.

Kini, Yerusalem diakui oleh Presiden Amerika Serikat sebagai ibukota Israel. Warga dan bangsa Israel pasti sangat senang menyambut kabar ini. Perjalanan panjang pembentukan masyarakat Yahudi sejak Deklarasi Balfour (1917) dan hasil perjanjian Sykes-Picot (1918) yang memutuskan migrasi besar-besaran ke tanah Palestina tinggal selangkah lagi menuju kesempurnaan. Sebaliknya, warga Palestina yang merasa sebagai penduduk asli, sudah pasti menolak bahkan akan berontak. Pemimpin negara-negara lainnya di dunia, sebagian besar juga ikut angkat suara. Banyak yang tidak sepakat dengan pernyataan orang nomer satu di Amerika tersebut. Sebagian besar dari mereka bahkan mengecam keputusan Trump.

Mereka tahu, pengakuan sepihak seperti itu dapat memicu konflik kawasan dan kemanusiaan akan terulang kembali.

Mereka tahu, bahwa tanah Yerusalem bukan milik satu agama saja. Dogma teologis merekam jejak-jejak historis tanah tiga agama monoteisme.

Mereka tahu, jika ini dibiarkan, rakyat Palestina akan berjuang mati-matian untuk meraih Yerusalem kembali. Tanah suci yang menyimpan peristiwa Isra Mi’raj bagi kaum Muslim, serta berdiri di atasnya masjid Al-Aqsha.

Mereka juga tahu, rakyat Israel tidak akan tinggal diam ketika mereka diserang oleh warga Palestina. Hasil akhirnya, tidak lain adalah peperangan di atas kota tua itu tidak bisa dielakkan.

Semua tahu konflik Israel-Palestina telah melalui berbagai perundingan yang melelahkan. Dimulai dari Resolusi DK PBB (1967), Perjanjian Camp David (1979), Perundingan Oslo (1993), ataupun pertemuan antara Yitzgak Rabin (Israel) dan Yasser Arafat (Palestina) yang menandatangani kesepakatan Interim Israel-Palestina (1995), hingga skema two states sebagai solusi terbaik bagi kedua belah pihak (Palestina-Israel) dengan tanah Yerusalem sebagai kawasan berstatus bebas di bawah pengawasan PBB.

Tapi, mereka tidak tahu kapan perebutan tanah suci ini akan berakhir. Alih-alih berakhir, justru Trump semakin meruncingkan sengketa abadi. Meskipun keputusan ini berpijak pada penerapan Undang-Undang yang telah disepakati konggres AS di tahun 1995 tentang perelokasian Kedubes AS ke Yerusalem. Trump bisa dibenarkan dalam pandangan Amerika karena melaksanakan amanat UU tersebut. Namun, ia akan sangat wajar jika dipersalahkan oleh masyarakat dunia atas keputusan sepihaknya tanpa mempertimbangkan, apakah resiko yang harus diterima lebih besar atau lebih kecil. Karena nyawa-nyawa manusia menjadi taruhannya. Layaknya Yesus dalam keyakinan kalangan Nasrani yang harus dipertaruhkan nyawanya -dengan disalib- karena arogansi sang penguasa.

Salam untuk semesta alam, dan kami bersama Palestina.

10 Desember 2017

Pak Malik Dosen2 20180202_101503

Ditulis oleh :

Muhammad Khoirul Malik

Dosen di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Tulungagung.
Direktur PSTT (Pusat Studi Timur Tengah) – IAIN Tulungagung